Dream List

Pernah punya mimpi? Pasti pernah dong ya. Bagaimana rasanya? Menyenangkan bukan?


Menurut beberapa biografi orang-orang sukses hampir semua kesuksesan dan karya besar dimulai dari sebuah mimpi, ide, gagasan yang tidak pernah surut.

Suatu hal yang tidak mungkin di masa lalu, menjadi kenyataan di masa sekarang.


Misalnya internet dan e-mail juga dimulai dari sebuah ide Vannevar Bush dalam tulisannya ”As We May Think” pada tahun 1945 yang terus dilanjutkan sampai sekarang. Tidak peduli siapa kemudian yang melanjutkan, toh pada akhirnya gagasan itu terwujud.


Seseorang bernama John Goddard pernah terinspirasi untuk menuliskan mimpi saat usia 15 tahun pada tahun 1940, di saat mayoritas kita (pada usia yang sama) belajar geografi dan sekedar mengahafal letak tempat-tempat penting di dunia, Goddard mengambil kertas dan menuliskan 127 impian hidupnya.


Goddard tidak hanya menghafal tempat-tempat itu, melainkan menuliskannya sebagai tempat yang akan dikunjungi kelak. Tulisan ini kemudian menjadi cetak biru kehidupannya.


Saat usia Goddard 40 tahun pada tahun 1972, ia telah mencapai 103 dari target mimpinya, sebagaimana yang telah dimuat d majalah Life. Berikut adalah sebagian daftar mimpi Goddard :

  1. Sungai Nil
  2. Sungai Amazon

...

11. Brazil

12. Kalimantan

...

46. Air terjun niagara

59. Taj mahal

67. Ke Laut Mati

76. Terbang dengan balon udara / gantole

81. Memainkan Flute dan violin

92. Melihat upacara kremasi di Bali

99. Menerbitkan artikel di majalah National Geographic

110. Membaca seluruh isi Encyclopedia Britanica

112. Membaca karya Shakepeare, Plato, Aristotle, Dickens, Thoreau, Rousseau, Hemingway, Twain, Burrough dll

114. Menjadi terampil dalam menggunakan pesawat, sepeda motor, traktor, surfboard, senapan, pistol, perahu, mikroskop dll

126. Menikah dan punya lima anak

127. Melihat abad ke-21 (ia akan berusia 75 tahun)


Sejak membaca ini, aku juga mulai menuliskan dan menyusun mimpi-mimpi yang ingin aku wujudkan dalam kehidupanku.


Tapi menyusun mimpi ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan karena mimpi berbeda dengan khayalan jadi kita harus mempertimbangkan bahwa apa yang kita tulis itu cukup feasible dan tidak sembarang keinginan. Kita harus memahami diri kita sendiri, siapa kita, apa kekuatan yang dimiliki, apa kelemahannya, ancamannya, kemungkinannya dan seterusnya.


Memang sih kelihatannya tidak seketat itu, beberapa mimpi ada juga yang kelihatan sedikit berlebihan, misalnya aku ingin bisa menguasai teknik elektro dan robontika. Nah sedikit berlebihan kan karena aku sudah terlanjur memilih public health dan obstetric.

Kalaupun mau berarti harus mulai dari nol lagi lalu ditambah aku ga terlalu menguasai fisika. Namun, memang bukannya tidak mungkin kan? (atau mungkin cari suami ahli elektro atau robontika? Wah itu mah beda lagi ya hehehe)


Berapa banyak jumlah mimpi kita bukanlah menjadi persoalan. Masalahnya sekarang adalah strategi apa yang harus kita terapkan agar mimpi kita dapat terwujud satu persatu.


Untuk itu semua diperlukan usaha yang keras dan berdoa kepada Allah, aku yakin dengan usaha dan doa maka mimpiku akan terwujud.


Tuliskanlah apa mimpi-mimpi kita, selama itu baik dan positif kenapa nggak? Tidak selalu hal-hal yang besar, tapi bisa dari hal-hal yang sederhana. Misalnya aku ingin bisa menyetir mobil, mengendarai motor atau menjahit baju sendiri.


Mau tahu apa yang aku aku tulis dalam dreamlist-ku?.

Aku ingin ke Banda Aceh sholat di Baiturrahman, i’tikaf di masjidil haram, menyelam di Bunaken, keliling indonesia minimal 20 propinsi, jalan-jalan ke Eropa, kuliah di luar negri, S-2 di UI , Mahir berbahasa Inggris, Arab, Perancis dan Jerman, menyetir mobil, mengendarai motor, kerja di NGO internasional dengan gaji 2000 dolar/bln, punya anak kembar dan masih banyak lagi rahasia donk.


Terlalu berlebihan ya? tapi kenapa tidak? Namanya juga mimpi. Lagipula kita kan memiliki Allah Yang Maha Pemurah, selagi itu positif kenapa nggak?


Oia, sekedar bocoran ya, aku juga sudah mulai mencoreti nomor dalam dreamlist-ku yang sudah berhasil terwujud. Mau tahu? Aku sudah berhasil sholat di Baiturrahman Banda Aceh, pergi ke pulau Sabang Aceh dan beberapan kabupaten propinsi di indonesia, mengendarai motor, kuliah di UI, bisa sulam pita dll.


Semua itu tidak lepas dari kebesaran Allah Yang Maha Pemurah. Dan doakan aku ya supaya aku bisa terus mencoret nomer-nomer dalam dreamlist-ku ;-)


***

Sumber :

Hevita, Lusiana M. 2005. Catatan Wanita Lajang. Bandung: Syamil

Ibrahim, Marwah Daud. 2003. Mengelola hidup dan Merencanakan Masa Depan. Jakarta: MHMMD Production

Menikah atau Tidak Menikah

Menikah atau Tidak Menikah

(Nanik Susanti, Catatan Wanita Lajang, Syamil, 2005)


Muslimah hanya akan sempurna jika telah menikah dan mempunyai anak.


Saya tersenyum mendengar pendapat ini.

Usia saya sekarang 33 tahun. Saya belum menikah, bahkan mungkin akan terus tidak menikah. Bukan, bukan karena saya menentang lembaga pernikahan. Bukan juga karena saya baru mengalami pengalaman buruk berkenaan dengan seorang laki-laki.

Semua orang tahu bahwa pernikahan adalah misteri. Datang dan munculnya bukan atas kendali manusia sepenuhnya. Lalu apakah saya (dan orang seperti saya) tidak bisa menjadi sempurna?


Ah, mungkin benar. Toh, tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Namun para muslimah yang belum menikah seharusnya bisa menjadi muslimah istimewa. Sedehana saja...menjadi muslimah belum menikah artinya mampu hidup ”berbeda” dari keumuman dan kewajaran.

Hanya orang-orang istimewalah yang mampu hidup berbeda, lalu tetap bekerja dan terus berpegang teguh pada idealismenya; tidak bersedih karena suara-suara sumbang atau komentar-komentar menyedihkan yang keluar dari orang lain; tidak menenggelamkan diri dalam dunia sepi hanya karena ingin sembunyi dari tuntutan orang tua dan kerabat.


Belajarlah dari Aisyah r.a. di usianya yang kedua puluh. Pada usia tersebut, beliau sudah tidak didampingi suami dalam menjalani hidupnya. Beliau juga tidak mempunyai keturunan seorangpun.

Lalu apakah hidup Aisyahr.a. menjadi sepi dan tidak produktif? Tidak, justru pada usia muda itu, beliau berhasil mengaplikasikan ilmu-ilmunya yang didapat dari madrasah Rosulullah dan membaginya pada muslim dan muslimah yang belajar pada beliau.

Dari sini jugalah seharusnya para muslimah yang belum menikah banyak belajar pada Aisyah r.a.

Bukan hanya belajar pada kehidupannya pada saat menjadi istri Rosulullah saw.


Oleh karena itu buat para muslimah yang belum menikah, jangan berkecil hati. Peliharalah keinginan menikah itu dalam hati.

Namun ingat, bukan untuk menikah kita diciptakan di dunia ini. Menikah bukanlah tujuan hidup. Menikah merupakan salah satu sarana yang bisa membawa kita pada kesempurnaan penciptaan sebagai khalifah di muka bumi.


Jika sarana itu tidak menghampiri kita, bukan berarti kita tidak bisa mencapai kesempurnaan menjadi seorang muslimah. Ada banyak sarana lain untuk mencapai kesempurnaan berkaitan peran kita sebagai rahmatan lil ’alamiin.


Ada banyak cara Allah sediakan bagi pemaksimalan aktualisasi keshalihatan kita, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan.


...karena kita tahu bahwa surga tidak dikhususkan hanya untuk orang-orang yang sudah menikah bukan? :)


Kala Tanya Menggugat

”Mbak, gimana kabarnya?” suara renyah menyapaku di horn telfon.

”Masih inget aku kan, Mbak. Ih pasti Mbak lupa deh ! Aku kan pernah ikut teaternya Mbak...”


Kemudian ia menyebutkan nama.

”Nah sekarang inget, kan?”


Aku tersenyum, mengingat wajah manis seusia adik bungsuku, delapan tahun lebih muda dariku. Saat bergabung dengan teater yang pernah aku pimpin, ia baru saja masuk SMA.


”Aku kangen deh Mbak, pengen ikut teater lagi.”

”Sudah butek teaternya.” candaku.

”Eh Mbak, gimana kabarnya?”

”Alhamdulillah baik.” jawabku, ”kamu sendiri gimana?”

”Alhamdulillah, Eh aku udah punya anak lho mbak”


Kemudian ia bercerita tentang pernikahannya di usia muda. Tidak lama setelah lulus SMA, ada seorang pria melamarnya.


”Tapi suamiku usianya jauh lebih tua dari aku, Mbak. Kayaknya seusia Mbak deh.”

“Oh ya Mbak sendiri gimana, udah punya anak?”


aku tertawa, “Sudah, anak kucing!” tawaku mengeras, “Nikah aja belum, Dek, punya anak dari siapa?” Aku tersenyum.


“Waaah...Mbak belum nikah?! Aku aja udah mo punya anak dua. Gimana nih si Mbak. Mestinya anak Mbak udah lebih banyak dari aku.”


Aku kembali tertawa getir.

“Kenapa sih Mbak belum nikah?”


Kenapa? Lagi-lagi aku hanya tertawa, kemudian memberikan jawaban klise : pangerannya masih disimpan Allah; Allah belum memberikan izin; sudah ikhtiar, tapi semua ketentuan Allah.


“Ayo Mbak cepet nikah! Ntar kebelap terus lho sama yang lebih muda!”

Kembali aku tersenyum dan mengucap istigfar...... dalam hati.



***


Lain waktu.


Sebuah diskusi di satu mailing list, tentang sudut pandang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Awalnya aku hanya menanggapi posting email seseorang anggota milis tentang cerita seorang wanita yang uring-uringan karena tiba-tiba suaminya “bete” tanpa dia tahu apa penyebabnya. Berbagai prasangka menggelayuti perasaan sang istri tentang “kebetean” sang suami.


Ternyata “bete” sang suami hanya karena kesebelasan sepak bola kesayangannya kalah, sedangkan sang istri bukanlah penggemar sepak bola. Inti tulisan tersebut memang menyorot pada pola pikir yang berbeda antara pria dan wanita.


Banyak yang menanggapi email tersebut. Bercerita tentang pengalaman dengan istri atau suami masing-masing, terutama dalam pola pikir. Saat itu saya hanya menanggapi sambil bercanda,


”Wah, coba istrinya juga sama-sama suka bola dan sama-sama favorit terhadap kesebelasan tersebut, pasti sama-sama ’bete’.”


Ternyata beberapa anggota milis menanggapi dengan serius.


”Makanya Mbak nikah dulu deh, baru bisa merasakan.”

Seseorang lagi menanggapi. ’Ia, betul, kalau belum menikah sih nggak bakal tau kayak gimana bedanya pikiran pria dan wanita.’


Saya hanya tersenyum membaca beberapa email tanggapan tersebut.



###



Sebagai wanita lajang, dengan usia yang –bahkan- sudah melewati masa menikah, pertanyaan dan (sering kali) komentar yang cenderung memojokkan banyak menghampiri. Dua pengalaman tersebut hanya sedikit dari yang pernah aku alami.


Seorang kawan begitu sedihnya ketika mengalami kejadian mirip seperti cerita yang pertama. ”Saya nggak habis pikir, dia kan tau saya belum menikah dan usia saya sudah menjelang 33. Tapi kok dia nggak ’sensi’ banget bilang seperti itu. Memangnya dia yang mengatur jodoh?”


Saat itu saya hanya dapat menyabarkan dirinya. Aku katakan padanya untuk tersenyum saja bila dipojokkan, bisa jadi orang tersebut tidak bermaksud demikian. Selalulah berprasangka baik, bahkan jadikan itu sebagai bahan muhasabah (evaluasi) diri.


Banyak orang yang memang kurang peka bila pembicaraan mengarah pada hal yang sensitif buat seorang wanita yang masih melajang, ungkapan-ungkapan yang halus seperti,

”Kapan nih nyebar undangan?” sampai yang memojokkan bahkan cenderung kasar seperti ”Wah kok usianya sudah segitu belum nikah juga?”, ”Makanya Mbak, nikah biar tahu bagaimana kehidupan suami-istri”... baik dari keluarga, teman, sampai tetangga.


Aku sendiri kadang merasa tidak enak bila disudutkan seperti tiu, tapi karena aku sedikit ”mutem” (muka tembok), he..he.. Saat usia 24-27 tahun memang cukup sensitif. Apalagi saat itu, teman-teman seusia, seperjuangan, satu persatu memasuki gerbang pernikahan.


Alhamdulillah, sekarang aku merasa lebih kebal meski bukan berarti tidak sedih bila disindir atau disudutkan (apalagi bila kondisi hati sedang tidak enak).


(Rahmadiyanti, Catatan Wanita Lajang, Syamil, 2005)



^^^



Kebiasaan basa basi yang sudah “membudaya” di kalangan orang indonesia memang adakalanya menimbulkan efek yang tidak mengenakan, mungkin niat awalnya hanya basi-basi karena sudah lama tidak bertemu dan ingin tahu kabar atau bahkan mungkin karena tidak ada bahan pembicaraan lain.


Pertanyaan basi-basi itu bisa tentang pekerjaan, anak yang dimiliki, pernikahan dll


Jika kondisi orang yang ditanya sedang baik dan sukses tentunya tidak akan menimbulkan efek negatif, tapi jika kondisinya tidak seperti yang diharapkan tentunya akan menimbulkan ’kebetean’, kesal sampai sakit hati.


Bagaimana nggak tambah sedih dan kesel kalo kita baru kehilangan pekerjaan dan sudah berusaha mencari-cari namun belum dapat, kemudian ketemu sama keluarga, teman atau tetangga dan ditanya

”Kerja dimana sekarang?”, sampai yang ekstrim ”Wah sudah mahal-mahal kuliah ko malah nganggur?”


Setiap orang yang menikah pastinya ingin memiliki anak, tapi kalau kita sudah berusaha dengan berbagai macam cara dari yang medis sampai tradisional tapi belum juga hamil, apakah nggak tambah bete dan kesel kalo ketemu sama orang ditanya

”Sudah hamil belum nih?”, ”Wah, sudah setahun nikah ko belum juga hamil sih?” atau, ”Kenapa belum hamil juga mbak?”


Hal seperti itu tentunya sama seperti yang dirasakan seorang wanita yang sudah memasuki atau bahkan melewati usia menikah tapi belum juga menikah. Pertanyaan seperti :

Kapan nih nyebar undangan?”, ”Kapan nih Mbak nikahnya, temen-temen yang lain sudah pada nikah loh Mbak?”, Wah, ko usianya sudah segitu belum nikah juga?”, ”Kenapa sih Mbak belum menikah?”, ”Ayo Mbak cepet nikah, ntar kebalap loh Mbak sama yang lebih muda!”.


Pertanyaan dan pernyataan basi-basi seperti itu kadang seperti menyindir atau memojokkan dapat membuat hati kesal, bete, sedih sampai menangis.

Hidup menjadi lajang tentulah tidak enak, ”Jadi cobalah mengerti kami.”


Janganlah kami diberikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin maksudnya hanya basi-basi dengan niat ingin beramah tamah atau sebagai bentuk perhatian, namun ketahuilah bahwa pertanyaan itu dapat membuat hati kami terluka.