Kala Tanya Menggugat

”Mbak, gimana kabarnya?” suara renyah menyapaku di horn telfon.

”Masih inget aku kan, Mbak. Ih pasti Mbak lupa deh ! Aku kan pernah ikut teaternya Mbak...”


Kemudian ia menyebutkan nama.

”Nah sekarang inget, kan?”


Aku tersenyum, mengingat wajah manis seusia adik bungsuku, delapan tahun lebih muda dariku. Saat bergabung dengan teater yang pernah aku pimpin, ia baru saja masuk SMA.


”Aku kangen deh Mbak, pengen ikut teater lagi.”

”Sudah butek teaternya.” candaku.

”Eh Mbak, gimana kabarnya?”

”Alhamdulillah baik.” jawabku, ”kamu sendiri gimana?”

”Alhamdulillah, Eh aku udah punya anak lho mbak”


Kemudian ia bercerita tentang pernikahannya di usia muda. Tidak lama setelah lulus SMA, ada seorang pria melamarnya.


”Tapi suamiku usianya jauh lebih tua dari aku, Mbak. Kayaknya seusia Mbak deh.”

“Oh ya Mbak sendiri gimana, udah punya anak?”


aku tertawa, “Sudah, anak kucing!” tawaku mengeras, “Nikah aja belum, Dek, punya anak dari siapa?” Aku tersenyum.


“Waaah...Mbak belum nikah?! Aku aja udah mo punya anak dua. Gimana nih si Mbak. Mestinya anak Mbak udah lebih banyak dari aku.”


Aku kembali tertawa getir.

“Kenapa sih Mbak belum nikah?”


Kenapa? Lagi-lagi aku hanya tertawa, kemudian memberikan jawaban klise : pangerannya masih disimpan Allah; Allah belum memberikan izin; sudah ikhtiar, tapi semua ketentuan Allah.


“Ayo Mbak cepet nikah! Ntar kebelap terus lho sama yang lebih muda!”

Kembali aku tersenyum dan mengucap istigfar...... dalam hati.



***


Lain waktu.


Sebuah diskusi di satu mailing list, tentang sudut pandang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Awalnya aku hanya menanggapi posting email seseorang anggota milis tentang cerita seorang wanita yang uring-uringan karena tiba-tiba suaminya “bete” tanpa dia tahu apa penyebabnya. Berbagai prasangka menggelayuti perasaan sang istri tentang “kebetean” sang suami.


Ternyata “bete” sang suami hanya karena kesebelasan sepak bola kesayangannya kalah, sedangkan sang istri bukanlah penggemar sepak bola. Inti tulisan tersebut memang menyorot pada pola pikir yang berbeda antara pria dan wanita.


Banyak yang menanggapi email tersebut. Bercerita tentang pengalaman dengan istri atau suami masing-masing, terutama dalam pola pikir. Saat itu saya hanya menanggapi sambil bercanda,


”Wah, coba istrinya juga sama-sama suka bola dan sama-sama favorit terhadap kesebelasan tersebut, pasti sama-sama ’bete’.”


Ternyata beberapa anggota milis menanggapi dengan serius.


”Makanya Mbak nikah dulu deh, baru bisa merasakan.”

Seseorang lagi menanggapi. ’Ia, betul, kalau belum menikah sih nggak bakal tau kayak gimana bedanya pikiran pria dan wanita.’


Saya hanya tersenyum membaca beberapa email tanggapan tersebut.



###



Sebagai wanita lajang, dengan usia yang –bahkan- sudah melewati masa menikah, pertanyaan dan (sering kali) komentar yang cenderung memojokkan banyak menghampiri. Dua pengalaman tersebut hanya sedikit dari yang pernah aku alami.


Seorang kawan begitu sedihnya ketika mengalami kejadian mirip seperti cerita yang pertama. ”Saya nggak habis pikir, dia kan tau saya belum menikah dan usia saya sudah menjelang 33. Tapi kok dia nggak ’sensi’ banget bilang seperti itu. Memangnya dia yang mengatur jodoh?”


Saat itu saya hanya dapat menyabarkan dirinya. Aku katakan padanya untuk tersenyum saja bila dipojokkan, bisa jadi orang tersebut tidak bermaksud demikian. Selalulah berprasangka baik, bahkan jadikan itu sebagai bahan muhasabah (evaluasi) diri.


Banyak orang yang memang kurang peka bila pembicaraan mengarah pada hal yang sensitif buat seorang wanita yang masih melajang, ungkapan-ungkapan yang halus seperti,

”Kapan nih nyebar undangan?” sampai yang memojokkan bahkan cenderung kasar seperti ”Wah kok usianya sudah segitu belum nikah juga?”, ”Makanya Mbak, nikah biar tahu bagaimana kehidupan suami-istri”... baik dari keluarga, teman, sampai tetangga.


Aku sendiri kadang merasa tidak enak bila disudutkan seperti tiu, tapi karena aku sedikit ”mutem” (muka tembok), he..he.. Saat usia 24-27 tahun memang cukup sensitif. Apalagi saat itu, teman-teman seusia, seperjuangan, satu persatu memasuki gerbang pernikahan.


Alhamdulillah, sekarang aku merasa lebih kebal meski bukan berarti tidak sedih bila disindir atau disudutkan (apalagi bila kondisi hati sedang tidak enak).


(Rahmadiyanti, Catatan Wanita Lajang, Syamil, 2005)



^^^



Kebiasaan basa basi yang sudah “membudaya” di kalangan orang indonesia memang adakalanya menimbulkan efek yang tidak mengenakan, mungkin niat awalnya hanya basi-basi karena sudah lama tidak bertemu dan ingin tahu kabar atau bahkan mungkin karena tidak ada bahan pembicaraan lain.


Pertanyaan basi-basi itu bisa tentang pekerjaan, anak yang dimiliki, pernikahan dll


Jika kondisi orang yang ditanya sedang baik dan sukses tentunya tidak akan menimbulkan efek negatif, tapi jika kondisinya tidak seperti yang diharapkan tentunya akan menimbulkan ’kebetean’, kesal sampai sakit hati.


Bagaimana nggak tambah sedih dan kesel kalo kita baru kehilangan pekerjaan dan sudah berusaha mencari-cari namun belum dapat, kemudian ketemu sama keluarga, teman atau tetangga dan ditanya

”Kerja dimana sekarang?”, sampai yang ekstrim ”Wah sudah mahal-mahal kuliah ko malah nganggur?”


Setiap orang yang menikah pastinya ingin memiliki anak, tapi kalau kita sudah berusaha dengan berbagai macam cara dari yang medis sampai tradisional tapi belum juga hamil, apakah nggak tambah bete dan kesel kalo ketemu sama orang ditanya

”Sudah hamil belum nih?”, ”Wah, sudah setahun nikah ko belum juga hamil sih?” atau, ”Kenapa belum hamil juga mbak?”


Hal seperti itu tentunya sama seperti yang dirasakan seorang wanita yang sudah memasuki atau bahkan melewati usia menikah tapi belum juga menikah. Pertanyaan seperti :

Kapan nih nyebar undangan?”, ”Kapan nih Mbak nikahnya, temen-temen yang lain sudah pada nikah loh Mbak?”, Wah, ko usianya sudah segitu belum nikah juga?”, ”Kenapa sih Mbak belum menikah?”, ”Ayo Mbak cepet nikah, ntar kebalap loh Mbak sama yang lebih muda!”.


Pertanyaan dan pernyataan basi-basi seperti itu kadang seperti menyindir atau memojokkan dapat membuat hati kesal, bete, sedih sampai menangis.

Hidup menjadi lajang tentulah tidak enak, ”Jadi cobalah mengerti kami.”


Janganlah kami diberikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin maksudnya hanya basi-basi dengan niat ingin beramah tamah atau sebagai bentuk perhatian, namun ketahuilah bahwa pertanyaan itu dapat membuat hati kami terluka.